Sunday, November 12, 2017

Dari Kata, Kepada Pukul Satu Lewat Dini Hari

 
 
Kepada pukul satu lewat dini hari
 
di mana denting jam semakin berat memikul kantuk
 
dan rindu yang perlahan menumpuk
 
ketika puisi menjadi alat tukar tambah yang sah
 
untuk kita bertukar waktu
 
agar kata bertambah rindu
 
kepada makna nya
 
dan kepada tanya
 
 
malam terkadang menjadi alasan
 
banyak mata menutup diri duluan
 
pergi menghindar dari gelap 
 
tanpa mengerti beda tidur dan ngelindur
 
tapi kita memilih singgah lebih lama
 
di penghujung gulita
 
agar terlelap ke dalam kata kata
 
 
mencari tanya
 
tanpa perlu terbalas jawab 
 
berbalas kata
 
tanpa perlu menagih arti
 
hingga kita, lebih larut dari malam itu sendiri
 
dan rindu,
 
mengendap semakin dalam ke denyut nadi
 
 
"Malam ini aku akan tidur di mata mu"
 
kata Joko pinurbo
 
tapi Aku bukan Joko
 
bukan pula sastrawan kondang yang paling pinurbo
 
yang bisa leluasa bermalam di mata banyak orang
 
dengan berbayar baris rima dan deret kata
 
dari sepenggal puisi
 
 
Namun ketika tiba pukul satu lewat dini hari
 
puisi menjadi alat tukar tambah yang sah
 
maka selipkan lah deretan rima dan sajak ini
 
ke bawah kasur dan waktu tidur mu 
 
karena Aku ingin mata ini tidur di malam mu
 
yang terpisah 2 jam dari malam ku
 
malam ini
 
 
 
(6 November/1.30/ Fukaura, Aomori lewat waktu tidur)
 

Sunday, October 29, 2017

Di suatu Jeda dari Tepian Taman Inokashira





Gelap rapi memangkas rindang dalam sekejap

sudut demi sudut

hingga musim gugur

sempurna mengambil wujud


Telinga yang tersumbat rasa sungkan

tak kunjung berkenalan dengan petikan gitar musisi

yang selepas dari petang melantun tembang

tanpa menerima sepeser pun basa basi


Separuh bulan

tenggelam ke dasar kolam

kata demi kata

mulai gugur ke tepian

bersama kontemplasi setengah utuh

dari sepenggal puisi yang urung tersentuh


Di bawah redup lampu taman

secangkir kopi yang diracik tanpa percakapan

tak mampu menghangatkan musim

dan dingin kota yang semakin asing.



(27 Oktober/17.30/ Dari pinggiran hiruk pikuk Tokyo)

Saturday, September 9, 2017

Di Pelataran Terminal 3 Narita




Karena  sering terbang murah

aku jadi terbiasa menimbang

dan memilah


seperti penerbangan

yang sudah sudah

setelah memilah keresahan

di pelataran gerbang keberangkatan


demi menghindari batas muatan

rindu lekas aku tanggalkan

tepat sebelum koper naik

ke atas timbangan


"Jangan ditinggal lagi, kali ini kita tempel saja

dengan label barang pecah belah"

tawar petugas kargo terminal

yang mulai nakal


Aku bimbang

Aku resah

sialan! aku ditinggal terbang.

Wednesday, August 23, 2017

Dari Pojok Timur Stasiun Beppu





Ada pergantian musim,

sedari melintasi empat persimpangan

yang dimana laju waktu

tertahan

oleh lampu merah di musim gugur.

 

Kita menunggu di pojok timur,

sehabis membuang muka dari rutinitas

jauh di luar pintu sebelah barat stasiun

 

Kau bertanya,
 
"kenapa kita tidak naik kereta saja?"

Aku mulai ragu

sepertinya kau terburu buru,

lebih dari turis yang sejak tadi

lalu lalang

sibuk mencari ke arah mana jalan pulang

 

jujur saja aku tidak ingin buru buru.

Dan stasiun ini memang bukan

untuk penumpang yang tergesa gesa.

 

Aku minta kau bercerita lebih banyak lagi

tentang apa saja

bukan lagi tentangmu pun tak apa juga

asal bukan tentang jadwal keberangkatan kereta.

Namun kau sudah terlanjur diburu waktu,

stasiun ini bukan lagi ruang tunggumu.

 

Kau pun berlalu menuju entah

bersama sesak penumpang yang bergantian hilang

meninggalkan bangku tunggu kosong.

Seperti teduh siang bolong

yang hanya menyisakan terik, ketika hengkang sepanjang obon.

 

dan aku menunggu di pojok timur,

sendirian menenggak musim panas

yang kini tersisa kurang dari setengah gelas.
 
 

Tuesday, August 1, 2017

Epilog: Matogahama dan Bulan Juli



Di petang itu

laut pasang tak sabaran mengecup bibir pantai

Terlantar oleh angin asin yang berhembus tipis tipis,

seketika kepakan sayap camar memelan di atas langit.

di bawahnya berkumpul kerumunan janji akan pertemuan

ada yang bertemu diam diam

diam diam ada yang kebetulan dipertemukan.

Meski kebetulan, belum tentu menjanjikan.


Di lantunan musim panas itu

mengucur alunan dari pori pori sepasang telapak tangan
 
pada tiap tepukan

pada tiap hentakan

berusaha bertemu

pada satu tempo yang sama di penghujung tiap bait nya

"Yosa Kora sai! sai!"

"Yosa Kora sai! sai!"

"Aryasa! Aryasa!"

beberapa pasang telinga,

berusaha menerka makna.


Langit panggungnya

ketika setiap pandangan

terlempar jauh ke atas laut malam

di bawah nya

sepasang bola mata

masih mencoba memahami rangkaian kebetulan.

sembari mencuri curi kesempatan,

mengabadikan kesementaraan.


Tuesday, June 13, 2017

Dialog: 18:45



Riak riak air asin menguning jingga
saat senja yang belum paham caranya berpamitan luntur ke permukaan laut
Hanyut hingga ke pesisir
mencoba sembunyikan hangatnya dari malam
di sela sela butiran pasir
 
Kapal dan pelabuhan masih tertambat erat pada satu perpisahan
"Panggilan terakhir kepada penumpang di dalam pelabuhan, harap segera bergegas naik ke kapal. Kapal menuju Osaka akan segera berlabuh meninggalkan dermaga."
Penumpang di dalam pelabuhan tidak menghiraukan pengumuman.
Masih sibuk memilih oleh oleh untuk di bawa pulang,
dan kata kata perpisahan yang tepat untuk diucapkan.
 
"Sekali lagi panggilan terakhir. Panggilan terakhir. Kepada penumpang tujuan osaka. Harap bergegas naik ke kapal. Kapal akan segera berlabuh meninggalkan dermaga, tidak peduli senja masih tersisa di pinggiran karang. Kita semua ingin segera pulang, bukan?" 
Bergegaslah sisa sisa penumpang dari dalam pelabuhan berpindah ke dalam badan kapal.
Bendera di atas kapal pun berkibar,
pelan pelan mengantarkan kapal berlabuh kembali ke peraduan.
Tangan tangan di pinggiran dermaga,
perlahan harus kembali rela melambai kepada perpisahan.
Sedang mercusuar mulai gelisah menunggu ombak yang tak kunjung pulang,
ketika sore dan malam
terbelah sejajar pada satu garis lintang

Tuesday, June 6, 2017

3 Pagi dalam Kopi




Lewat setengah 3 pagi

malam mendapati pagi

bercumbu mesra bersama kantuk

di secangkir kopi

yang luput terteguk

Thursday, May 11, 2017

24 Jam


Malam mulai terkumpul ke dasar cangkir
Lelah yang jatuh di mata, perlahan turun ke perut
Angka 24 sakral berbinar di setiap sudut
 
"Satu mangkuk tengah malam porsi besarnya. Minumnya pukul satu dini hari saja, saya belum mau mabuk. Masih mau coba keliling cari penumpang", pesanan dari seorang supir taksi lanjut usia yang duduk di bangku deret dekat kasir.
 
Di meja untuk empat orang, duduk hanya seorang Karyawan kantoran yang pulang lembur hampir setiap malam. Menegak segelas besar pukul dua dini hari, tanpa melahap habis satu set pukul sebelas malam yang sudah terhidang duluan.
 
"Satu set pukul dua lewat Lima belas dini hari. Secangkir hangat pukul enam pagi. Barang antaran hari ini masih belum sampai setengah jalan ke tempat tujuan", gelisah seorang supir truk di tepi meja panjang.
 
Menuju pintu keluar, seorang gadis yang dibaluti piyama tidur menenteng pulang satu porsi waktu tidurnya yang terbungkus rapi dan hangat dalam kantong plastik berlabel "9 jam".
 
"mau pesan apa?"
"Pesan yang biasanya" tanpa melihat hidangan dalam daftar menu, seorang yang belum ingin bergegas bertemu pagi, memesan malam satu porsi penuh di atas nampan.

-ditulis dini hari saat perkara perut lebih penting dari mata yang akut mengantuk-

Sunday, March 26, 2017

Asakusa





Aroma udara pedas
tercampur berkat dari sisa sisa dupa
mengepul tipis tipis 
belum sempat disyukuri  lekas sudah terbakar habis 

Pagi sembunyi
terlipat rapi
di antara kelopak mata
para biksu tanpa strata
dari dalam lonceng tua
Buddha mulai bercerita

Aroma udara memanis
Kedai kedai kudapan 
Mulai menjajakan doa dan nafsu  
Pagi angkat kaki
Umat yang taat semakin menepi

di setiap kedai kudapan 
Nafsu duniawi lebih laku dari pada doa 
dari mulut yang luput panjatkan sutra 
Buddha diam tanpa tahta
 
-Teruntuk pagi bisu di Asakusa. Tanpa doa umat mu dan nafsu duniawi para tamu jauh yang lupa diri, saya rindu sekali-

Saturday, February 11, 2017

Prolog Februari



Memasuki awal bulan februari di Jepang, suhu dingin beranjak naik turun. Hanya saja malam tetap ngotot beku mengendap sisa sisa musim dingin yang masih enggan mencair bersama sunyi senyap kota kecil ini. Meskipun tidak terlalu tepat rasanya menyebut tempat yang menjadi persinggahan saya selama hampir tiga setengah tahun berpisah dari cita rasa di bawah tudung saji nusantara ini sebagai sebuah kota.

Beppu terlampau lanjut usia untuk menjadi sebuah kota. Telinganya tidak akan lagi sanggup, mendengar hingar bingar manusia. Terkecuali celotehan sehari hari para mahasiswa dalam bahasa ibu yang berbeda, baik kandung maupun tiri. Beppu cukuplah menjadi kasur tempat saya melentangkan badan sejenak, ketika letih dari seharian penuh berpura pura mandiri. Saya selalu menyukai Beppu yang basah kuyup sehabis hujan.

Hujan membuat kepulan uap dari cerobong cerobong pemandian air panas memanjat langit sejengkal demi sejengkal lebih tinggi, layaknya asap dari dupa dupa berukuran raksasa yang mengantarkan doa dan rasa syukur, hingga sempurna putih pekatnya menjelma awan. Begitu sederhana cara Beppu dan Hujan berbalas pesan. Saya percaya, bahwa hujan selalu punya cara untuk menelanjangi wajah asli sebuah tempat yang disinggahinya. Beppu yang basah kuyup tidak kalah jujurnya dengan gerimis kerdil pada malam malam bulan November di Manhattan sekalipun.

Suatu hari di paruh awal februari, hujan akhirnya mencairkan kembali sebagian musim dingin di Beppu tahun ini. Dari pagi hingga malam mengantuk lagi, hujan masih enggan reda. Dan di dalam gulita yang mulai larut, terlihat samar gumpalan gumpalan uap yang perlahan dengan sabar mencoba memanjat langit. Beppu dan hujan, berbalas rindu diam diam.


  -ditulis malam hari saat hujan pertama pada bulan Februari 2017, tanpa konsumsi indomie rebus rasa kari-