Saturday, February 11, 2017

Prolog Februari



Memasuki awal bulan februari di Jepang, suhu dingin beranjak naik turun. Hanya saja malam tetap ngotot beku mengendap sisa sisa musim dingin yang masih enggan mencair bersama sunyi senyap kota kecil ini. Meskipun tidak terlalu tepat rasanya menyebut tempat yang menjadi persinggahan saya selama hampir tiga setengah tahun berpisah dari cita rasa di bawah tudung saji nusantara ini sebagai sebuah kota.

Beppu terlampau lanjut usia untuk menjadi sebuah kota. Telinganya tidak akan lagi sanggup, mendengar hingar bingar manusia. Terkecuali celotehan sehari hari para mahasiswa dalam bahasa ibu yang berbeda, baik kandung maupun tiri. Beppu cukuplah menjadi kasur tempat saya melentangkan badan sejenak, ketika letih dari seharian penuh berpura pura mandiri. Saya selalu menyukai Beppu yang basah kuyup sehabis hujan.

Hujan membuat kepulan uap dari cerobong cerobong pemandian air panas memanjat langit sejengkal demi sejengkal lebih tinggi, layaknya asap dari dupa dupa berukuran raksasa yang mengantarkan doa dan rasa syukur, hingga sempurna putih pekatnya menjelma awan. Begitu sederhana cara Beppu dan Hujan berbalas pesan. Saya percaya, bahwa hujan selalu punya cara untuk menelanjangi wajah asli sebuah tempat yang disinggahinya. Beppu yang basah kuyup tidak kalah jujurnya dengan gerimis kerdil pada malam malam bulan November di Manhattan sekalipun.

Suatu hari di paruh awal februari, hujan akhirnya mencairkan kembali sebagian musim dingin di Beppu tahun ini. Dari pagi hingga malam mengantuk lagi, hujan masih enggan reda. Dan di dalam gulita yang mulai larut, terlihat samar gumpalan gumpalan uap yang perlahan dengan sabar mencoba memanjat langit. Beppu dan hujan, berbalas rindu diam diam.


  -ditulis malam hari saat hujan pertama pada bulan Februari 2017, tanpa konsumsi indomie rebus rasa kari-