Tuesday, June 6, 2017

3 Pagi dalam Kopi




Lewat setengah 3 pagi

malam mendapati pagi

bercumbu mesra bersama kantuk

di secangkir kopi

yang luput terteguk

Thursday, May 11, 2017

24 Jam


Malam mulai terkumpul ke dasar cangkir
Lelah yang jatuh di mata, perlahan turun ke perut
Angka 24 sakral berbinar di setiap sudut
 
"Satu mangkuk tengah malam porsi besarnya. Minumnya pukul satu dini hari saja, saya belum mau mabuk. Masih mau coba keliling cari penumpang", pesanan dari seorang supir taksi lanjut usia yang duduk di bangku deret dekat kasir.
 
Di meja untuk empat orang, duduk hanya seorang Karyawan kantoran yang pulang lembur hampir setiap malam. Menegak segelas besar pukul dua dini hari, tanpa melahap habis satu set pukul sebelas malam yang sudah terhidang duluan.
 
"Satu set pukul dua lewat Lima belas dini hari. Secangkir hangat pukul enam pagi. Barang antaran hari ini masih belum sampai setengah jalan ke tempat tujuan", gelisah seorang supir truk di tepi meja panjang.
 
Menuju pintu keluar, seorang gadis yang dibaluti piyama tidur menenteng pulang satu porsi waktu tidurnya yang terbungkus rapi dan hangat dalam kantong plastik berlabel "9 jam".
 
"mau pesan apa?"
"Pesan yang biasanya" tanpa melihat hidangan dalam daftar menu, seorang yang belum ingin bergegas bertemu pagi, memesan malam satu porsi penuh di atas nampan.

-ditulis dini hari saat perkara perut lebih penting dari mata yang akut mengantuk-

Sunday, March 26, 2017

Asakusa





Aroma udara pedas
tercampur berkat dari sisa sisa dupa
mengepul tipis tipis 
belum sempat disyukuri  lekas sudah terbakar habis 

Pagi sembunyi
terlipat rapi
di antara kelopak mata
para biksu tanpa strata
dari dalam lonceng tua
Buddha mulai bercerita

Aroma udara memanis
Kedai kedai kudapan 
Mulai menjajakan doa dan nafsu  
Pagi angkat kaki
Umat yang taat semakin menepi

di setiap kedai kudapan 
Nafsu duniawi lebih laku dari pada doa 
dari mulut yang luput panjatkan sutra 
Buddha diam tanpa tahta
 
-Teruntuk pagi bisu di Asakusa. Tanpa doa umat mu dan nafsu duniawi para tamu jauh yang lupa diri, saya rindu sekali-

Saturday, February 11, 2017

Prolog Februari



Memasuki awal bulan februari di Jepang, suhu dingin beranjak naik turun. Hanya saja malam tetap ngotot beku mengendap sisa sisa musim dingin yang masih enggan mencair bersama sunyi senyap kota kecil ini. Meskipun tidak terlalu tepat rasanya menyebut tempat yang menjadi persinggahan saya selama hampir tiga setengah tahun berpisah dari cita rasa di bawah tudung saji nusantara ini sebagai sebuah kota.

Beppu terlampau lanjut usia untuk menjadi sebuah kota. Telinganya tidak akan lagi sanggup, mendengar hingar bingar manusia. Terkecuali celotehan sehari hari para mahasiswa dalam bahasa ibu yang berbeda, baik kandung maupun tiri. Beppu cukuplah menjadi kasur tempat saya melentangkan badan sejenak, ketika letih dari seharian penuh berpura pura mandiri. Saya selalu menyukai Beppu yang basah kuyup sehabis hujan.

Hujan membuat kepulan uap dari cerobong cerobong pemandian air panas memanjat langit sejengkal demi sejengkal lebih tinggi, layaknya asap dari dupa dupa berukuran raksasa yang mengantarkan doa dan rasa syukur, hingga sempurna putih pekatnya menjelma awan. Begitu sederhana cara Beppu dan Hujan berbalas pesan. Saya percaya, bahwa hujan selalu punya cara untuk menelanjangi wajah asli sebuah tempat yang disinggahinya. Beppu yang basah kuyup tidak kalah jujurnya dengan gerimis kerdil pada malam malam bulan November di Manhattan sekalipun.

Suatu hari di paruh awal februari, hujan akhirnya mencairkan kembali sebagian musim dingin di Beppu tahun ini. Dari pagi hingga malam mengantuk lagi, hujan masih enggan reda. Dan di dalam gulita yang mulai larut, terlihat samar gumpalan gumpalan uap yang perlahan dengan sabar mencoba memanjat langit. Beppu dan hujan, berbalas rindu diam diam.


  -ditulis malam hari saat hujan pertama pada bulan Februari 2017, tanpa konsumsi indomie rebus rasa kari-